HIMKI Minta Penerapan Formula UMP 2026 Cermati Industri Furnitur Padat Karya

Selasa, 23 Desember 2025 | 08:59:44 WIB
HIMKI Minta Penerapan Formula UMP 2026 Cermati Industri Furnitur Padat Karya

JAKARTA - Perubahan kebijakan pengupahan kembali menjadi perhatian pelaku industri, khususnya sektor furnitur dan kerajinan. 

Rencana penerapan formula baru Upah Minimum Provinsi pada 2026 dinilai perlu dilakukan dengan pendekatan yang hati-hati agar tidak menimbulkan tekanan berlebihan bagi industri padat karya.

Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia menilai kebijakan upah tetap penting sebagai bentuk perlindungan pekerja. Namun, penerapannya perlu mempertimbangkan kondisi nyata industri furnitur yang sangat bergantung pada tenaga kerja manusia.

Karakteristik tersebut membuat setiap perubahan kebijakan upah memiliki dampak langsung terhadap keberlanjutan usaha. Karena itu, pelaku industri berharap pemerintah mengedepankan pendekatan yang seimbang dan kontekstual.

Karakter Industri Furnitur Padat Karya

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur menyampaikan bahwa pihaknya memahami tujuan pemerintah dalam memberikan kepastian dan perlindungan bagi pekerja melalui formula baru UMP. Namun, ia menekankan bahwa karakter industri furnitur berbeda dengan sektor lain.

“Dalam implementasinya, kebijakan ini perlu dijalankan secara hati-hati dan kontekstual, terutama bagi industri padat karya seperti furnitur dan kerajinan,” kata Sobur kepada Bisnis, Senin (22/12/2025).

Ia menjelaskan bahwa industri furnitur dan kerajinan saat ini menyerap lebih dari dua juta tenaga kerja secara nasional. Jumlah tersebut menunjukkan besarnya peran sektor ini dalam menyediakan lapangan kerja.

Struktur industrinya juga didominasi oleh usaha mikro, kecil, dan menengah serta industri menengah. Kondisi ini membuat ketahanan usaha sangat bergantung pada pengelolaan biaya yang efisien.

Beban Biaya Tenaga Kerja dan Daya Saing

Sobur mengungkapkan bahwa dalam struktur usaha furnitur, biaya tenaga kerja menempati porsi yang cukup besar. Komponen ini dapat mencapai tiga puluh hingga empat puluh persen dari total biaya produksi.

“Pada struktur usaha furnitur, komponen biaya tenaga kerja dapat mencapai 30% hingga 40% dari total biaya produksi,” ungkapnya.

Dengan porsi sebesar itu, setiap kenaikan upah akan langsung memengaruhi struktur biaya. Dampaknya tidak hanya dirasakan di tingkat produksi, tetapi juga pada daya saing harga produk furnitur Indonesia.

Kondisi tersebut menjadi semakin menantang ketika industri harus bersaing di pasar ekspor. Harga menjadi faktor penting, terutama di tengah pasar global yang masih belum sepenuhnya pulih.

Oleh karena itu, HIMKI menilai formula pengupahan idealnya mempertimbangkan produktivitas tenaga kerja. Kemampuan industri menjaga keberlanjutan usaha juga perlu menjadi variabel penting dalam kebijakan.

Tekanan Pasar Global dan Persaingan Regional

Dari sisi eksternal, kebijakan pengupahan berpotensi meningkatkan biaya produksi furnitur nasional. Kenaikan biaya ini dapat berdampak pada daya saing produk Indonesia di pasar global.

“Pasar utama furnitur Indonesia seperti Amerika Serikat dan Eropa masih berada dalam fase pemulihan, sementara persaingan dengan negara seperti Vietnam, Malaysia, dan China makin ketat,” tuturnya.

Negara-negara pesaing tersebut dinilai memiliki sejumlah keunggulan struktural. Salah satunya adalah biaya pembiayaan yang lebih rendah serta ekosistem industri yang lebih efisien.

Tanpa diimbangi peningkatan produktivitas dan penurunan biaya struktural lainnya, margin usaha industri furnitur berpotensi semakin tertekan. Kondisi ini dapat memengaruhi keputusan investasi dan ekspansi usaha.

Dalam jangka menengah, HIMKI mengidentifikasi risiko terbatasnya ekspansi kapasitas produksi. Selain itu, penundaan perekrutan tenaga kerja baru juga berpotensi terjadi.

Risiko UMKM dan Usulan Kebijakan Terintegrasi

Tekanan biaya juga dinilai akan berdampak besar terhadap UMKM furnitur. Padahal, segmen ini selama ini menjadi tulang punggung industri furnitur nasional.

“Dalam kondisi ekstrem, tekanan biaya ini dapat mendorong terjadinya relokasi pesanan ke negara pesaing,” ujarnya.

Untuk memitigasi risiko tersebut, HIMKI mendorong pemerintah menempatkan kebijakan pengupahan dalam kerangka keseimbangan. Perlindungan tenaga kerja dan keberlanjutan industri dinilai harus berjalan beriringan.

Penyesuaian upah dinilai perlu dilakukan secara bertahap, terukur, dan berbasis produktivitas. Pendekatan ini diharapkan dapat meminimalkan guncangan bagi industri padat karya.

Selain itu, kebijakan pengupahan perlu diiringi dukungan struktural. Akses pembiayaan yang lebih murah dan stabil menjadi salah satu faktor penting yang diharapkan pelaku industri.

HIMKI juga menyoroti pentingnya penurunan biaya logistik dan energi. Penyederhanaan regulasi serta perizinan bagi UMKM berorientasi ekspor dinilai dapat memperkuat daya saing industri.

Di sisi lain, peningkatan produktivitas tenaga kerja menjadi agenda yang tidak kalah penting. Program pelatihan dan insentif teknologi dipandang dapat membantu industri beradaptasi dengan tantangan biaya.

Dengan pendekatan kebijakan yang terintegrasi, HIMKI berharap industri furnitur mampu menjaga kesejahteraan pekerja. Pada saat yang sama, sektor ini diharapkan tetap kompetitif dan terus berkontribusi terhadap ekspor nasional.

Terkini